Pigeon Effect – Sebuah Intrik Relasi Yang Sering Disalahgunakan
“Apa sih maunya si A?” “Dia itu serius ga sih? Sebentar – sebentar sepertinya dia mendekat, terus menjauh ngilang ga jelas.” ” Aslinya dia mau ga sih sama aku? “
Kebanyakan tarot reader, saya yakin banget, pasti sering mendapatkan pertanyaan diatas seputar percintaan. Dan saya yakin juga, tidak sedikit tarot reader yang menemukan klien yang terkungkung dengan kondisi percintaan dimana pasangannya melakukan kekerasan verbal maupun fisik, tapi kliennya tetap merasa harus berjuang tanpa syarat.
Saya menyinggung dua kejadian diatas karena 2 fenomena tersebut, sadar / tidak sadar, menggunakan akar prinsip yang sama:
“PIGEON EFFECT“
Apa itu Pigeon Effect ? Berikut saya jelaskan secara singkat…, mulai dari asal – usulnya dulu.

Bermula Dari Sebuah Eksperimen
Isitlah ini bermula dari sebuah eksperimen dimana sebuah burung pigeon atau merpati, yang bertengger diatas kayu dalam sebuah kandang, memiliki perilaku yang cukup unik. Burung ini umumnya akan mematuk kayu (tempat dia bertengger) ketika dia lapar / ingin makan.
Ketika kita memberikan makan, maka dia berhenti mematuk dan memakan makanan yang kita berikan.
Dan ketika dia kembali lapar, dia kembali mematuk. Ketika dia mendapatkan makanannya, dia berhenti mematuk dan memakan makanannya.
Nah, ini hal uniknya. Sebuah penelitian menemukan fenomena unik. Dimana kalau kita memberikan makan pada jam yang teratur, misalnya setiap jam 12 dan jam 18, maka burung merpati tersebut sama sekali tidak mematuk.
Namun apabila kita memberikan makanan secara acak, misalnya, jam 12 siang kita beri dia makan, kemudian sisanya kita baru memberikan makan disaat dia mematuk, keesokan harinya kita kasi dia makan jam 9 pagi dan jam 15.00 siang, lusanya kita baru kasi makan saat dia mematuk di pagi hari, kemudian sorenya kita baru kasi dia makan jam 21.00 , lepas dari matuknya sekeras apapun…., in short, kita memberikan makan dengan pola yang sangat acak…
Maka yang terjadi, burung merpati tersebut tetap akan mematuk terus – terusan sambil makan. Bahkan semakin acak polanya, maka mematuknya pun semakin keras.
Apa Maksud Dari Percobaan Tersebut?
Intinya, si burung merpati ini sangat tidak suka dengan pola yang acak. Dan dia baru akan berhenti mematuk apabila dia kembali menemukan pola pemberian makanan tersebut.
Sejak itulah, percobaan tersebut dikenal sebagai “pigeon effect”.
Manusia pun mirip dengan burung merpati ini. Manusia cenderung mencari pola…, apa saja yang mesti dia lakukan untuk mendapat ‘hadiah’ , dan apa saja yang mesti dia hindari untuk menghindari ‘hukuman’.
Ketika manusia mendapatkan pola dari hadiah / hukuman tersebut , tantangannya sudah hilang dan tidak penasaran lagi; namun ketika pola hadiah/ hukumannya masih terlihat acak/ belum ketemu polanya, maka manusia cenderung akan berusaha sekuat tenaga untuk menemukan pola tersebut.
Apa Implikasinya Dengan PDKT ?

Sederhananya, apabila kamu ingin mendekati seseorang. Salah satu cara efektif yang bisa dilakukan adalah dengan membuat orang yang kita gebet itu penasaran sama kita. Dan cara ini, cukup efektif meskipun kita secara fisik, relatif pas – pas an, dan cenderung bebas gender. Alias bisa dilakukan baik oleh cewek maupun cowok, ke orang dengan profil apapun dan siapapun.
Cara sederhananya? Ya buatlah ‘pola acak’ dalam memberikan perhatian.
Misalnya, selama 3 hari, kita memberikan perhatian yang intense ke si dia. Kemudian hari ke-4 nya kita ‘menghilang’, hari ke 5 nya memberikan perhatian seadanya, hari ke 6 buat bahasanya agak terlalu to the point banget. Hari ke-7 sampai ke – 10 kita intens memberikan perhatian lagi.
Dari situ, selama 5 hari kedepan kita berlagak ‘ngilang’, dan hari ke-6 setelah ngilang itu, kita memberikan surprise hadiah kecil – kecilan ke dia.
Variasikan semuanya, termasuk kapan masa – masa kamu agak sedikit galak bahasanya, kapan romantis banget, kapan biasa aja, kapan kayak ga bisa dihubungi, buat semuanya acak.
Hasilnya? Saya berani jamin, dia akan penasaran dengan “Apa maunya kamu?”
Memang cara ini belum tentu membuat si dia jatuh cinta ke kamu. Tapi minimal kamu sudah mendapatkan perhatiannya karena penasaran menemukan pola yang bisa dibaca dari sosok dirimu ini.
Dan apabila kamu sudah mendapatkan perhatiannya, sisanya tinggal pintar – pintarnya dirimu dalam mengarahkan proses PDKT ini agar tetap acak, namun tanpa disadari semakin saling mengenal (dan membuka) kehidupan masing – masing.
Begitulah cara singkat menggunakan pigeon effect dalam proses PDKT.
Nah, prinsip yang sama, sebenarnya juga tanpa disadari, sering diterapkan oleh orang – orang yang membangun hubungan toxic.
Pigeon Effect Dalam Hubungan Toxic

Bagaimana cara kerja prinsip ini dalam hubungan yang toxic tersebut?
Pada awalnya, semua sama, memberikan perhatian dan ‘hadiah’ secara acak. Dan selama proses tersebut, pelaku dan korban sama – sama membuka diri, dan seringkali, si pelaku cenderung membuka dirinya sebagai sosok yang sebenarnya patut dikasihani banget. Alhasil, intuisi keibuan/ kebapakan korban pun mulai terpanggil untuk memberikan yang terbaik untuk ‘pelaku’.
Nah, ketika si korban mulai mengusahakan banyak hal ke pelaku, di saat itulah pelaku mulai ‘berulah’.
Pada awalnya, setelah korban nyaman dengan pelaku, pelaku mulai melakukan hal yang diluar kewajaran dia selama menjalin relasi. Misalnya, mendadak marah ga jelas, atau menyalahi si korban tanpa alasan yang jelas. Korban akan bingung dengan kelakuan si pelaku. Setelah beberapa saat, pelaku akan minta maaf dan memberikan penjelasan pembenaran atas apa yang dia lakukan.
Tentu saja setelah kejadian yang tidak mengenakkan tersebut, pelaku bisa saja memberikan hadiah kecil kepada korban.
Setelahnya, barulah pelaku akan mulai mengacak polanya…, adakalanya pelaku akan memberikan apresiasi, adakalanya pelaku akan melakukan kekerasan kepada korban; dan tentu pelaku memberikan pembenaran atas perilakunya tersebut.
Nah…, dari situ, disela dengan apresiasi juga, semakin lama, kekerasan fisik ataupun verbal si pelaku semakin berani dan semakin keras. Di fase yang semakin lama semakin parah ini, pelaku juga mulai membatasi kehidupan sosial korban dengan orang lain dan mulai meminta korban untuk hanya fokus ke pelakunya saja. Semua itu akan dilakukan karena alasan semua itu untuk kebaikan si korban dan pelaku juga perlu dikasihani.
Di fase ini, korban sudah tahu apa yang dia lakukan itu salah dan tidak seharusnya dia terus menuruti keinginan pelaku. Namun di saat yang sama, korban juga merasa aneh, kenapa dia tidak bisa lepas dari si pelaku…kenapa dia merasa terikat dan harus berada di sisi pelaku? Ini bisa disebabkan ada beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama, karena merasa harus menyelamatkan pelaku yang toxic tersebut dan berusaha memperbaiki agar kembali menjadi orang yang baik.
Kemungkinan kedua, karena korban sudah terlalu penasaran akan apa sebenarnya keinginan si pelaku yang toxic ini. Sudah terlalu terobsesi akan mendapatkan kembali cintanya yang hilang dari si pelaku. Dan dari sini pun, tanpa disadari, korban sudah ‘terbiasa’ akan perlakuan orang yang toxic tersebut.
Kemungkinan ketiga, karena korban merasa dia sudah berinvestasi/ mengorbankan terlalu banyak demi relasi yang toxic tersebut. Ketika dia meninggalkan orang yang memperlakukannya demikian, dia merasa semua pengorbanannya akan sia – sia dan tidak ada timbal balik. Obsesi akan timbal balik atas semua pengorbanan tersebut yang membuat korban juga terjebak ke lingkaran toxic yang tidak ada habisnya.
Dari memberi pola acak akan hadiah dan hukuman tersebut, yang semakin lama semakin keras, seseorang bisa ‘menjebak’ orang lain kedalam hubungan yang toxic dan sulit untuk lepas dari situ. Disaat yang sama, dengan konsep yang sama, pigeon effect bisa digunakan untuk PDKT seseorang dengan tingkat keberhasilan yang terbilang tinggi.
Sebuah cara yang layaknya pedang bermata dua; dapat digunakan untuk tujuan positif maupun yang buruk.
Dan bila cara ini digunakan (tanpa sadar) untuk menggiring ke relasi yang toxic, apakah ada cara untuk melepasnya? Tentu saja ada, dan akan saya bahas di post lainnya.
Posted on July 9, 2021, in article, case study, Fudoh, Tarot and tagged pigeon, relationship, toxic. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0