Category Archives: case study
Pigeon Effect – Sebuah Intrik Relasi Yang Sering Disalahgunakan
“Apa sih maunya si A?” “Dia itu serius ga sih? Sebentar – sebentar sepertinya dia mendekat, terus menjauh ngilang ga jelas.” ” Aslinya dia mau ga sih sama aku? “
Kebanyakan tarot reader, saya yakin banget, pasti sering mendapatkan pertanyaan diatas seputar percintaan. Dan saya yakin juga, tidak sedikit tarot reader yang menemukan klien yang terkungkung dengan kondisi percintaan dimana pasangannya melakukan kekerasan verbal maupun fisik, tapi kliennya tetap merasa harus berjuang tanpa syarat.
Saya menyinggung dua kejadian diatas karena 2 fenomena tersebut, sadar / tidak sadar, menggunakan akar prinsip yang sama:
“PIGEON EFFECT“
Apa itu Pigeon Effect ? Berikut saya jelaskan secara singkat…, mulai dari asal – usulnya dulu.

Bermula Dari Sebuah Eksperimen
Isitlah ini bermula dari sebuah eksperimen dimana sebuah burung pigeon atau merpati, yang bertengger diatas kayu dalam sebuah kandang, memiliki perilaku yang cukup unik. Burung ini umumnya akan mematuk kayu (tempat dia bertengger) ketika dia lapar / ingin makan.
Ketika kita memberikan makan, maka dia berhenti mematuk dan memakan makanan yang kita berikan.
Dan ketika dia kembali lapar, dia kembali mematuk. Ketika dia mendapatkan makanannya, dia berhenti mematuk dan memakan makanannya.
Nah, ini hal uniknya. Sebuah penelitian menemukan fenomena unik. Dimana kalau kita memberikan makan pada jam yang teratur, misalnya setiap jam 12 dan jam 18, maka burung merpati tersebut sama sekali tidak mematuk.
Namun apabila kita memberikan makanan secara acak, misalnya, jam 12 siang kita beri dia makan, kemudian sisanya kita baru memberikan makan disaat dia mematuk, keesokan harinya kita kasi dia makan jam 9 pagi dan jam 15.00 siang, lusanya kita baru kasi makan saat dia mematuk di pagi hari, kemudian sorenya kita baru kasi dia makan jam 21.00 , lepas dari matuknya sekeras apapun…., in short, kita memberikan makan dengan pola yang sangat acak…
Maka yang terjadi, burung merpati tersebut tetap akan mematuk terus – terusan sambil makan. Bahkan semakin acak polanya, maka mematuknya pun semakin keras.
Apa Maksud Dari Percobaan Tersebut?
Intinya, si burung merpati ini sangat tidak suka dengan pola yang acak. Dan dia baru akan berhenti mematuk apabila dia kembali menemukan pola pemberian makanan tersebut.
Sejak itulah, percobaan tersebut dikenal sebagai “pigeon effect”.
Manusia pun mirip dengan burung merpati ini. Manusia cenderung mencari pola…, apa saja yang mesti dia lakukan untuk mendapat ‘hadiah’ , dan apa saja yang mesti dia hindari untuk menghindari ‘hukuman’.
Ketika manusia mendapatkan pola dari hadiah / hukuman tersebut , tantangannya sudah hilang dan tidak penasaran lagi; namun ketika pola hadiah/ hukumannya masih terlihat acak/ belum ketemu polanya, maka manusia cenderung akan berusaha sekuat tenaga untuk menemukan pola tersebut.
Apa Implikasinya Dengan PDKT ?

Sederhananya, apabila kamu ingin mendekati seseorang. Salah satu cara efektif yang bisa dilakukan adalah dengan membuat orang yang kita gebet itu penasaran sama kita. Dan cara ini, cukup efektif meskipun kita secara fisik, relatif pas – pas an, dan cenderung bebas gender. Alias bisa dilakukan baik oleh cewek maupun cowok, ke orang dengan profil apapun dan siapapun.
Cara sederhananya? Ya buatlah ‘pola acak’ dalam memberikan perhatian.
Misalnya, selama 3 hari, kita memberikan perhatian yang intense ke si dia. Kemudian hari ke-4 nya kita ‘menghilang’, hari ke 5 nya memberikan perhatian seadanya, hari ke 6 buat bahasanya agak terlalu to the point banget. Hari ke-7 sampai ke – 10 kita intens memberikan perhatian lagi.
Dari situ, selama 5 hari kedepan kita berlagak ‘ngilang’, dan hari ke-6 setelah ngilang itu, kita memberikan surprise hadiah kecil – kecilan ke dia.
Variasikan semuanya, termasuk kapan masa – masa kamu agak sedikit galak bahasanya, kapan romantis banget, kapan biasa aja, kapan kayak ga bisa dihubungi, buat semuanya acak.
Hasilnya? Saya berani jamin, dia akan penasaran dengan “Apa maunya kamu?”
Memang cara ini belum tentu membuat si dia jatuh cinta ke kamu. Tapi minimal kamu sudah mendapatkan perhatiannya karena penasaran menemukan pola yang bisa dibaca dari sosok dirimu ini.
Dan apabila kamu sudah mendapatkan perhatiannya, sisanya tinggal pintar – pintarnya dirimu dalam mengarahkan proses PDKT ini agar tetap acak, namun tanpa disadari semakin saling mengenal (dan membuka) kehidupan masing – masing.
Begitulah cara singkat menggunakan pigeon effect dalam proses PDKT.
Nah, prinsip yang sama, sebenarnya juga tanpa disadari, sering diterapkan oleh orang – orang yang membangun hubungan toxic.
Pigeon Effect Dalam Hubungan Toxic

Bagaimana cara kerja prinsip ini dalam hubungan yang toxic tersebut?
Pada awalnya, semua sama, memberikan perhatian dan ‘hadiah’ secara acak. Dan selama proses tersebut, pelaku dan korban sama – sama membuka diri, dan seringkali, si pelaku cenderung membuka dirinya sebagai sosok yang sebenarnya patut dikasihani banget. Alhasil, intuisi keibuan/ kebapakan korban pun mulai terpanggil untuk memberikan yang terbaik untuk ‘pelaku’.
Nah, ketika si korban mulai mengusahakan banyak hal ke pelaku, di saat itulah pelaku mulai ‘berulah’.
Pada awalnya, setelah korban nyaman dengan pelaku, pelaku mulai melakukan hal yang diluar kewajaran dia selama menjalin relasi. Misalnya, mendadak marah ga jelas, atau menyalahi si korban tanpa alasan yang jelas. Korban akan bingung dengan kelakuan si pelaku. Setelah beberapa saat, pelaku akan minta maaf dan memberikan penjelasan pembenaran atas apa yang dia lakukan.
Tentu saja setelah kejadian yang tidak mengenakkan tersebut, pelaku bisa saja memberikan hadiah kecil kepada korban.
Setelahnya, barulah pelaku akan mulai mengacak polanya…, adakalanya pelaku akan memberikan apresiasi, adakalanya pelaku akan melakukan kekerasan kepada korban; dan tentu pelaku memberikan pembenaran atas perilakunya tersebut.
Nah…, dari situ, disela dengan apresiasi juga, semakin lama, kekerasan fisik ataupun verbal si pelaku semakin berani dan semakin keras. Di fase yang semakin lama semakin parah ini, pelaku juga mulai membatasi kehidupan sosial korban dengan orang lain dan mulai meminta korban untuk hanya fokus ke pelakunya saja. Semua itu akan dilakukan karena alasan semua itu untuk kebaikan si korban dan pelaku juga perlu dikasihani.
Di fase ini, korban sudah tahu apa yang dia lakukan itu salah dan tidak seharusnya dia terus menuruti keinginan pelaku. Namun di saat yang sama, korban juga merasa aneh, kenapa dia tidak bisa lepas dari si pelaku…kenapa dia merasa terikat dan harus berada di sisi pelaku? Ini bisa disebabkan ada beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama, karena merasa harus menyelamatkan pelaku yang toxic tersebut dan berusaha memperbaiki agar kembali menjadi orang yang baik.
Kemungkinan kedua, karena korban sudah terlalu penasaran akan apa sebenarnya keinginan si pelaku yang toxic ini. Sudah terlalu terobsesi akan mendapatkan kembali cintanya yang hilang dari si pelaku. Dan dari sini pun, tanpa disadari, korban sudah ‘terbiasa’ akan perlakuan orang yang toxic tersebut.
Kemungkinan ketiga, karena korban merasa dia sudah berinvestasi/ mengorbankan terlalu banyak demi relasi yang toxic tersebut. Ketika dia meninggalkan orang yang memperlakukannya demikian, dia merasa semua pengorbanannya akan sia – sia dan tidak ada timbal balik. Obsesi akan timbal balik atas semua pengorbanan tersebut yang membuat korban juga terjebak ke lingkaran toxic yang tidak ada habisnya.
Dari memberi pola acak akan hadiah dan hukuman tersebut, yang semakin lama semakin keras, seseorang bisa ‘menjebak’ orang lain kedalam hubungan yang toxic dan sulit untuk lepas dari situ. Disaat yang sama, dengan konsep yang sama, pigeon effect bisa digunakan untuk PDKT seseorang dengan tingkat keberhasilan yang terbilang tinggi.
Sebuah cara yang layaknya pedang bermata dua; dapat digunakan untuk tujuan positif maupun yang buruk.
Dan bila cara ini digunakan (tanpa sadar) untuk menggiring ke relasi yang toxic, apakah ada cara untuk melepasnya? Tentu saja ada, dan akan saya bahas di post lainnya.
Membaca Sambil Menghargai; Sebuah Pesan Untuk Para Tarot Reader Amatiran
Artikel kali ini gw beri judul yang cukup keras dan ‘mengejek’ karena terinspirasi dari berbagai fenomena yang terjadi belakangan ini disekitar gw. Fenomenanya sebenarnya sudah sering terjadi, namun baru kali ini gw terinspirasi untuk menulisnya.
Bisa dikatakan juga, artikel ini adalah bagian kedua dari artikel sebelumnya yang membicarakan bonafide/ tidaknya tarot reader.

Dan gw sengaja menulis ini terutama untuk tarot reader yang baru saja memulai, ataupun tarot reader lama namun masih bermental amatiran. Percayalah, dengan membaca dan menerapkan tulisan ini, niscaya anda semua sudah ratusan langkah lebih maju dan dewasa daripada tarot reader amatir umumnya.
Menghargai Privasi Klien
Hal pertama dan terutama dan sudah menjadi kode etik wajib buat seseorang yang menjadi tarot reader, baik hobi maupun profesional : jaga dan hargai privasi klien.
Saya sudah banyak sekali menemukam contoh kasus dimana tarot reader, melalui media sosial maupun portal berita, membaca ‘drama’ kehidupan seseorang (biasanya selebriti) tanpa ijin dari yang bersangkutan .
Contohnya, pernahkah anda melihat ketika seorang selebriti dilanda kasus perceraian ataupun perselingkuhan, kemudian banyak tarot reader berbondong – bondong membacakan nasib rumah tangga selebriti tersebut? Apakah itu sopan atau bisa dianggap pelanggaran privasi?
Atau contoh lainnya, ada sebuah komunitas tarot yang punya track record -dengan bangga- memamerkan ‘rahasia klien’ ke sesama anggotanya dan kemudian dijadikan bahan gosip bersama. Apakah itu etis?
Saya menemukan berbagai klien yang mengaku kapok berkonsultasi dengan tarot reader tertentu yang namanya sering disebut/ terkenal di media berita ataupun suatu media sosial, karena 1 hal: tidak mau privasinya diumbar secara detail untuk konsumsi publik.
Dan saya cukup banyak mendapat ‘hibahan’ klien dari tarot reader berstatus selebriti tersebut karena blundernya mereka dalam beretika. 😁
Hargai Karya Orang Lain
Tahu lagu Lathi karya putra – putri Indonesia yang cukup viral di internasional? Dan tahukah makna lagu tersebut secara detail ? Gw yakin pasti banyak yang tahu.
Tapi tahukah kamu? Ada cukup banyak tarot reader yang berlomba – lomba membacakan makna dibalik lagu itu versi mereka sendiri, diputarbalikkan, dan kemudian dicap sebagai lagu setan, sesat, atau iblis dan tidak patut didengar?
Dan semua itu, sengaja dilakukan agar nama tarot reader tersebut menjadi naik dan lebih terkenal. Singkatnya lagi, meninggikan nama sendiri dengan menjatuhkan karya orang lain.
Bagi yang sengaja menaikkan namanya dengan cara diatas, seringkali saya amati, justru tarot reader tersebut tetap menjadi tarot reader yang ‘miskin’. Mau sudah berkarir selama belasan ataupun puluhan tahun sekalipun, tetap sangat sulit untuk menaikkan karirnya sendiri.
Bagaimana dirinya mau dihargai, wong karya orang lain saja dia injak – injak?
Hargai Pilihan Klien, Apapun Itu
Kita sebagai tarot reader, tentunya memberikan saran yang menurut kita adalah saran terbaik untuk si klien. Tapi belum tentu saran/ solusi kita didengarkan/ dijalankan oleh mereka.
Disinilah kerendahan hati kita diuji. Yaitu menerima, seakurat apapun bacaan kita dan solusi yang kita berikan, tetap hak prerogatif klien untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Kita perlu menerima dengan lapang dada bila saran kita ‘ditolak’.
Dari pengalaman gw pribadi, faktor nomor 1 repeat order / klien kembali berkonsultasi ke kita, bukan dari akuratnya kita membaca dan memberikan solusi ke klien. Melainkan justru dari seberapa jauh kita bersedia untuk mendengar keluh kesah (baca: curhat) klien secara netral tanpa maksud apapun.
Dan apabila solusi kita belum bisa membantu si klien, maka dengan lapang dada ya menerima, mungkin yang Atas punya rencana lain untuk si klien tersebut. Dan rencana-Nya, memang tidak melibatkan diri kita sebagai tarot reader.
Konklusi…
Beberapa tarot reader, selalu bertanya (dan ada yang mengaku jujur, menjadi iri) ke gw dalam konteks positif: bagaimana bisa mendapatkan klien yang benar – benar high profile secara karir maupun mentalnya? Dari situ, pesan gw cukup sederhana…
Tingkatkan kualitasmu di segala aspek, maka kualitas klien yang datang pun akan mengikuti dengan sendirinya.
– anonim
Tarot Reader Bonafide ? Memang Ada?
Dari pengalaman bertahun-tahun dalam menekuni dunia tarot reading profesional, ternyata memang ada loh tarot reader yang memang bagus DAN ada juga yang benar – benar abal – abal.

Kok bisa ada yang abal – abal? Memang bisa saja; karena seputar dunia tarot di Indonesia memang belum ada standarisasinya ataupun semacam asosiasi profesi yang punya wewenang menerbitkan surat jaminan kompetensi…, alias blom ada yang bisa nerbitin ijasah lah intinya.
Jadi, kalau memang belum ada, apa yang bisa teman – teman lakuin sebelum melakukan konsultasi ke tarot reader tersebut? Bagaimana cara membedakan yang memang kompeten/ bisa membaca, atau yang abal – abal? Di artikel ini, gw akan share pengalaman gw untuk membantu melihat dan membedakan tarot reader yang seperti itu.
Penilaian Netral
Hal penting dari seorang tarot reader adalah, dia harus netral untuk kasus apapun; sehingga dia tidak memasukkan agenda pribadi ataupun maksud lain yang bisa membuat bacaan melenceng dari semestinya.
Netral disini bisa dilihat dari berbagai cara dia menanggapi kasusmu. Apakah dia akan menanyakan banyak ‘faktor pendukung’ disamping kasus utama yang kamu ceritakan? Apakah dia akan menanyakan background karir, status pernikahan, pendidikan, dan lainnya yang terlibat dalam cerita yang kamu konsultasikan?
Netral disini juga termasuk dalam artian tidak menilai negatif/ judging negatif mengenai apapun yang anda alami.
Misalnya, dia tetap akan netral apabila kamu membuka orientasi sexualmu; entah straight, gay, ataupun bi. Dia juga akan tetap netral apapun situasi rumah tanggamu; dan tentu tetap netral apapun karirmu.
Menghargai Bacaan Orang Lain
Gw seringkali menemukan berbagai klien yang sudah berkonsultasi dengan tarot reader lain sebelum berkonsultasi dengan gw sendiri.
Menurut gw, sepanjang tidak melenceng jauh banget, ada baiknya juga seorang tarot reader tidak mendiskreditkan / menjelekkan bacaan tarot reader sebelumnya. Lucunya, justru ketika gw berusaha mencari benang merah dengan bacaan sebelumnya, malah gw semakin dihargai oleh klien tersebut.
Lihat Media Sosialnya
Cara lain yang cukup sederhana sebelum memutuskan konsultasi ke tarot reader tersebut adalah dengan mengamati media sosialnya. Apa saja yang dia post? Apakah postnya sering mengeluh meminta simpati ataupun menjatuhkan karya/ pribadi orang lain? Kalau iya, lebih baik lihat yang lain deh.
Bagian ini menjadi sangat penting karena gw sendiri sering menemukan tarot reader yang ngepost cerita detail klien tanpa ijin dari klien tersebut, meskipun nama disamarkan dengan inisial. Bahkan ada tarot reader yang menjadikan cerita klien sebagai bahan gosip ke sesama reader.
Berpengetahuan Luas, Tutur Sederhana
Seorang tarot reader memang dituntut berpengetahuan / berwawasan luas; sehingga tarot reader yang bonafide akan selalu dengan sadar untuk terus belajar, lepas dari apapun caranya.
Tarot reader yang berwawasan luas, tidak puas hanya dengan status – status yang dia ‘buat sendiri’ seperti status orang ningrat lah, indigo lah, generasi kristal lah, generasi matahari hijau lah, dan masih banyak lagi. Mau status seheboh apapun, belajar menimba ilmu tetap menjadi prioritas selama menekuni tarot.
Setelah berpengetahuan luas, tentu semua tidak akan berarti kalo tidak bisa mengkomunikasikan pengetahuanmu ke klien bukan? Jadi, gunakan bahasa sesederhana mungkin ketika berkomunikasi sama klien agar mudah dimengerti. Gejala pamer berbagai jargon atau istilah – istilah ribet dalam sesi pembacaan tarot, mengutip pernyataan alm. Bob Sadino , itu tidak lebih daripada onani ilmu .
Konklusi?
Kalau uraian diatas bisa dipersingkat lagi, mungkin bisa direkap dalam 1 kalimat:
Tarot Reader Bonafide akan memperlakukan dan menghargai klien dengan hormat, empati, dan profesional.
– Rendy Fudoh –
Semoga bermanfaat. 🙂
Banyak Wanita Mulai Percaya Diri, Sehingga…
Ini memang murni hasil observasi pribadi gw. Terutama dari klien2 tarot dan juga lingkungan sosial sekitar gw.
Memang belum ada penelitiannya, tapi gw amati memang mulai ada peningkatan yg cukup kerasa akan wanita – wanita di Indonesia (Jakarta khususnya) yang bermindset mandiri.
Mindset mandiri disini tidak hanya sekedar membiayari diri sendiri (dan adakalanya menjadi tulang punggung keluarga juga), namun juga bersedia bertanggung jawab atas keputusan pribadinya sendiri, tanpa terpengaruh oleh nyinyiran/ julidan orang2 sekitarnya.
Sudah ada juga komunitas2 single mother yang bahkan prestasi mereka juga patut diacungi jempol dalam mendidik dan mensupport para single mother yang baru maupun lama.
Jadi baik keputusan cara berpakaian, mengirim konten ke sosmed pribadi, cara bersikap didepan orang (baik pria maupun wanita), cara PDKT, bahkan jalur karir (dan hobi) yang dipilih, semua adalah hasil keputusan sendiri; bukan karena intimidasi pihak lain.
Namun, seiring dengan jumlah wanita yang meningkat rasa percaya dirinya, maka banyak pula pihak2 yang BERUSAHA untuk menekan laju pertumbuhan wanita percaya diri tersebut.
Mulai dari bawa2 agama untuk mendikte cara berpakaian, bersikap, bekerja, sampai ke prinsip pribadi….
Sampai usaha dari para pria2 yang juga sangat masif untuk menekan wanita mandiri dan percaya diri tersebut. Mulai dari pelecehan verbal, seksual fisik, terror, -pentingnya nikah usia muda-, dan masih banyak lagi.
Ada semacam pihak2 yang ingin membuat wanita kembali menjadi warga kelas 2 seperti dulu disini. Agar hanya menjadi ibu rumah tangga abadi, dan seonggok daging pemuas nafsu birahi.
Dan yang paling gampang caranya, ya dengan bawa2 ayat agama.
Banyak wanita yang mulai meningkat percaya dirinya; sehingga gerakan untuk mengembalikan wanita ke warga kelas 2 pun, menjadi lebih masif.
Gw pribadi? Gw meskipun cowok, ya dukung2 aja supaya wanita lebih mandiri. Itu keputusan pribadi masing2 kok.
Habisnya, kebanyakan cowok yang mo balikin wanita ke warga kelas 2, motivasinya cuma 2: harga diri (kepala keluarga) ketohok dan murni sangean aja.
Sekarang tentang Past Life Regression….
Jujur, opini gw disini, gw kurang setuju akan metode dan praktek ini. Dan saran gw pribadi, dilakukan dengan skala sangat – sangat terbatas. Bukan karena metodenya tidak valid, melainkan mungkin masyarakat belum siap secara mental untuk menerima cara ini.
Sebelum gw bahas kenapanya, gw paparkan singkat terlebih dahulu. Metode Past Life Regression secara umum adalah melihat kehidupan masa lampau seseorang, mencari sisi baik dan hal – hal yg perlu diperbaiki dari kehidupan lampau tersebut yang mungkin masih kebawa dampaknya ke kehidupan sekarang. Caranyapun macam – macam; ada yang menggunakan hipnosis, kartu tarot, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, metode ini punya beberapa asumsi:
- Setiap manusia ada kehidupan masa lampau alias percaya adanya semacam reinkarnasi.
- Ada semacam dampak/ karma baik ataupun buruk yang bisa didapat/ harus dibayar lintas kehidupan.
Asumsi diatas gw tulis sebagai informasi referensi saja dan tidak gw bahas lebih lanjut.
Yang gw bahas disini adalah sisi kenapa gw sama sekali tidak menganjurkan untuk melakukan dan menerapkan Past Life Regression ini. Dan gw sadar bakalan banyak yang kurang setuju dengan opini gw karena 1 dan lain hal. Apakah metode ini bisa menyembuhkan berbagai luka lama dan berbagai karma buruk masa lampau (kalaupun Anda percaya itu)? Mungkin memang bisa; namun berikut hal – hal yang membuat gw kurang setuju dengan adanya metode ini.
Masa lalu yang ‘hebat’ = Kebanggaan Semu
Point pertama yang menjadi perhatian gw adalah, sebagian besar orang yang dicari kehidupan masa lampaunya, SERINGKALI mendapatkan masa lampaunya adalah seseorang yang sosoknya sangat hebat. Entah seorang Sultan, Raja, Pangeran, Panglima, ahli strategi, Putri yang hebat, Nyi Roro Kidul, dan tokoh2 hebat lainnya.
Alhasil? Karena merasa kehidupan lampaunya adalah sosok yang sangat berwibawa dan dipandang, klien seringkali berpegang kepada ‘kenangan di kehidupan sebelumnya’ tersebut sebagai bentuk pelarian dari hidupnya di saat ini yang terkesan biasa saja. Ada semacam kebanggaan semu disini yang sama sekali tidak memberikan manfaat bagi si klien, bahkan dapat memberikan kesombongan/ keangkuhan yang semu.
Alhasil, klien bisa berpotensi hidup dengan kebanggaan semu tersebut dan berujung kepada tidak menghasilkan apapun yang bermanfaat di hidupnya yang sekarang karena sudah puas akan masa lalunya yang sudah berprestasi.
Lagipula, kalau dikatakan masa lalunya adalah seorang PSK, penari striptease, gelandangan mati keracunan makanan, atau orang yang sangat2 biasa, memang klien mau mendengar itu? Apakah penjual metode Past Life Regression berani mengungkapkan itu dengan risiko klien tidak kembali?
Menyalahkan kehidupan masa lalu
Point kedua yang cukup fatal sebenarnya: menyalahkan ‘karma jelek’ kehidupan sebelumnya untuk pembenaran atas ‘nasib sial’ kehidupan sekarang.
Banyak klien yang juga cerita kalau situasi dirinya selalu kurang baik, selalu cenderung sial, dan lain sebagainya. Dan mereka mencari tahu kenapa situasi kurang baiknya itu sering menimpa dirinya…, dan sampailah ke mencari tahu via Past Life Regression.
Seperti biasa, klien akan dibacakan kehidupan lampaunya, kemudian berbagai prestasinya…, namun tak lupa juga dicarikan berbagai kekurangan dia di masa lampau yang memberi dampak ke kehidupan klien di masa sekarang.
Idealnya, memang ketika klien diberitahukan berbagai karma buruk, entah dari kehidupan sebelumnya ataupun dari akibat dampak dari orang tua ataupun keluarga besar dan semacamnya, maka diharapkan klien dapat terus memupuk karma baik agar suatu saat karma buruknya terbayarkan sehingga membawa ke kehidupan yang lebih bahagia.
Namun dampaknya dilapangan tidak seideal itu.
Gw sendiri sering menemukan, klien justru tidak menggunakan informasi karma buruk itu sebagai motivasi untuk terus berbuat baik untuk sekitarnya. Justru sebagain besar klien menggunakan informasi karma buruk di kehidupan lampau untuk pembenaran diri atas berbagai ‘nasib sial’ yang dia alami. Boro – boro mereka memperbaiki itu semua; yang ada malah sering duduk santai, meratapi masa lalu, dan nyaris tidak melakukan apapun secara riil untuk memperbaikinya.
Tujuan yang baik; namun masyarakat belum siap
Tulisan ini gw tutup dengan kalimat sederhana.
Mungkin metode ini dibuat dengan tujuan awal yang baik, untuk membantu orang – orang yang membutuhkan menjadi berkembang semakin baik, memotivasi, dan membantu mencari jati dirinya.
Namun, masyarakat tampaknya masih belum siap menerima metode ini dan lebih banyak disalahgunakan ketimbang dirasakan manfaatnya.
Mungkin metode ini bagus adanya, namun lebih disarankan digunakan untuk kalangan tertentu dan terbatas; bukan untuk semua orang dan itu menjadi kewajiban pengguna metode ini untuk memilih klien yang pantas dan belum pantas merasakan metode ini.